BER-NPWP, BEBAS FLN

npwp_123Dalam buku yang diedit oleh Cedric Sandford di tahun 1993 yang diterbitkan oleh Fiscal Publications yang diberi judul Key Issues In Tax Reform (1993), Ian Wallschutzky bercerita pengalaman sukses reformasi perpajakan di Australia di kurun tahun 1980-1990an. Pada Bagian II buku tersebut yang mengetengahkan isu administrasi reformasi perpajakan (Tax Reform – Administration), Wallschutzky yang merupakan associate professor of taxation di Universitas Newcastle, NSW, Australia menyebutkan pentingnya taxpayer identification bagi keberhasilan suatu sistem perpajakan. Dalam konteks ini, Wallschutzky menyebut bahwa ”tax systems may not be successful unless taxpayers can be identified”. Untuk kepentingan itu, Australia sejak tahun 1989 memberikan insentif yang cukup besar agar wajib pajaknya memiliki Tax File Number (TFN). Tercatat dalam artikel Minimising Evasion and Avoidance – Lesson From Australia di buku Cedric Sandford itu perbedaan perlakuan perpajakan yang lebih menguntungkan buat mereka yang memiliki TFN, seperti: (i) pengurangan pemotongan PPh yang lebih kecil sebesar 20% atas pembayaran gaji dibanding mereka yang tidak memiliki TFN yang dipotong 48.25%; (ii) mendapatkan tunjangan “ngganggur” dan sakit; (iii) tunjangan karena pension atau cacat; dan (iv) bebas pajak atas bunga tabungan. Fasilitas itu, pada awalnya memang diperuntukkan agar wajib pajak memiliki TFN dengan memberikan manfaat langsung atas kepemilikan TFN untuk mereka.
Negara lain, Sri Langka, berdasarkan The Report of the Taxation Commission 1990 (Sri Lanka), kurang lebih melakukan langkah yang sama saat mensosialisasikan pentingnya tax identification bagi penduduknya, yaitu dengan cara menawarkan tax amnesty bagi mereka yang mendaftar dan mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).

Langkah ekstensifikasi NPWP yang diambil pemerintah Indonesia

Statemen Wallschutzky di atas, tampaknya relevan untuk kasus Indonesia yang saat ini telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), satu dari trio UU perpajakan yang tengah digodok dan dibahas di Parlemen. Menyitir pendapat Wallschutzky di atas, sistem perpajakan Indonesia tidak akan berhasil tanpa mengidentifikasi profil wajib pajak, tanpa pengetahuan terhadap berapa banyak jumlah wajib pajak terdaftar. Untuk itu, NPWP menjadi krusial bagi administrasi perpajakan, tidak saja sebagai tanda bukti pengenal diri atau identitas wajib pajak, tetapi lebih dari itu NPWP juga merupakan sarana pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan (tax compliance) yang dari sana Negara akan memperoleh sumber penerimaan pajak guna dipakai dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

Memperhatikan data statistik kepemilikan NPWP di kalangan wajib pajak Indonesia, khususnya wajib pajak orang pribadi yang masih relative rendah tingkat kesadarannya (orang pribadi yang efektif memiliki NPWP dengan identitas jelas sebanyak 6 juta orang dengan jumlah pembayar pajak sebanyak 1,1 juta orang dari kurang lebih 200-an juta penduduk Indonesia saat ini), kita dapat memetik pelajaran dari kasus di dua Negara di atas. Tendensi ke arah itu, dapat dilihat dari draft Rancangan Undang-undang (RUU) pajak yang masih belum rampung dibahas DPR saat ini. Pada draft RUU Pajak penghasilan (PPh), diperkenalkan perlakuan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji yang berbeda antara karyawan yang memiliki NPWP dan yang tidak ber-NPWP. Terhadap mereka yang ber-NPWP dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 atas gaji yang lebih kecil dari karyawan yang tidak memiliki NPWP sehingga perbedaan ini akan secara nyata dinikmati oleh mereka yang dianggap lebih complied (dengan kepemilikan NPWP) dan memacu mereka yang belum ber-NPWP untuk segera mendaftar guna mendapatkan manfaat (benefit) yang telah dinikmati oleh teman-temannya yang telah lebih dahulu ber-NPWP. Insentif lain yang diperkenalkan oleh pemerintah dalam UU KUP baru adalah diberikannya sunset policy dimana dalam Pasal 37A ayat (2) disebutkan bahwa “Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar”.

Kabar gembira lainnya kita dengar di minggu-minggu belakangan ini dimana dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diusulkan juga tambahan kenikmatan (benefits) bagi mereka yang ber-NPWP, yaitu berupa pembebasan pembayaran fiskal luar negeri bagi mereka yang akan bertolak ke luar negeri (Liputan6.com tanggal 25 Juni 2008). Sebagaimana diketahui, berdasarkan regulasi perpajakan yang berlaku, setiap individu yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri diwajibkan membayar fiskal luar negeri (FLN) sebesar: (i) Rp 1.000.000 untuk setiap kali perjalanan menggunakan pesawat udara; (ii) Rp 500.000 dengan menggunakan kapal laut; dan (iii) Rp 250.000 apabila perjalanannya melalui darat.

Rencana pembebasan FLN bagi mereka yang ber-NPWP mulai tahun 2009 (Kompas, Senin 30 Juni 2008), apabila disetujui untuk diterapkan, merupakan bagian dari kampanye positif bagi mereka yang belum ber-NPWP untuk segera ber-NPWP. Ditilik dari substansinya, FLN sebenarnya adalah pajak pendahuluan bagi orang pribadi, yang dapat dikreditkan saat yang bersangkutan melakukan finalisasi perhitungan SPT PPh akhir tahun. Jadi dari segi penerimaan pemerintah, sebenarnya tidak berpengaruh apakah dibebaskan atau tidak, karena jika dibayar saat individu yang bersangkutan bertolak ke luar negeri, toh di akhir tahun, pembayaran FLN itu dapat menjadi kredit pajak. Pengaruh hanya akan terjadi pada cash flow, dimana saat dikenakan FLN atas keberangkatan orang pribadi ke luar negeri, pemerintah telah meng-akselerasi penerimaannya, tanpa menunggu perhitungan PPh wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan di akhir tahun. Keuntungan lain dari rencana pembebasan FLN tsb bagi WPOP yang ber-NPWP adalah: (i) ia tidak lagi disibukkan dengan beban administratif penyimpanan tanda bukti pembayaran FLN yang mudah (rentan) tercecer dan hilang; (ii) kemungkinan pelaporan SPT PPh WPOP lebih bayar akibat klaim FLN dapat dihindari sehingga meng-encourage WPOP untuk membiasakan pelaporan SPT secara benar.

Akankah success story di atas berulang untuk Indonesia?

Menurut sumber resmi Pihak Departemen Keuangan, rencana di atas terasa dilematis bagi pemerintah mengingat penerimaan FLN terus meningkat dari semula rata-rata Rp 1,3 trilyun di 2005 menjadi Rp 2,5 trilyun di 2007. Harapan kita tentunya kehilangan penerimaan tersebut dapat tergantikan atau bahkan terlampaui oleh potensi penerimaan pajak dari kepemilikan NPWP bagi wajib pajak-wajib pajak baru dan multiflier effect dari pembebasan FLN ini. Pembebasan FLN ini memang memiliki konsekuensi industri pariwisata domestik untuk berbenah menyiapkan diri berkompetisi menarik wisatawan lokal karena di era Asean Tourism Agreement dewasa ini, setiap Negara anggota ASEAN diharapkan dapat menghapus semua hambatan keluar-masuk orang, termasuk FLN. Rencana pembebasan FLN buat mereka yang ber-NPWP juga ditengarai dapat memberikan kesempatan yang lebih terbuka buat warganegara Indonesia yang ingin menyerap dan menuntut ilmu di Negara-negara yang lebih maju dan berpartisipasi lebih aktif dalam pergaulan internasional.

Sekali lagi, agar trade-off kehilangan penerimaan dari sumber FLN dapat tergantikan atau bahkan terlampaui oleh penerimaan pajak dari wajib pajak yang baru memiliki NPWP berikut imbas perekonomian lanjutannya, pemerintah memang harus bekerja lebih keras dan professional lagi. Pengalaman “bermanis-manis” agar banyak warga masyarakat ber-NPWP di Australia dan Sri Langka menghasilkan buah manis keberhasilan reformasi sistem perpajakan di dua Negara itu. Pertanyaannya kemudian untuk kasus kita adalah apakah “bermanis-manis” memberikan pembebasan FLN bagi mereka yang ber-NPWP dapat meningkatkan jumlah WPOP efektif terdaftar dan membayar pajak? Sudahkah dikaji apakah insentif yang ditawarkan tersebut memang cukup “manis” menurut perspektif warga masyarakat? Perlukah “pemanis” tambahan?

Cerita sukses moga-moga akan berulang di Indonesia. Amin.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait